Konon menulis itu tidak perlu bakat, hanya perlu menulis. Tahu dan sadar diri bahwa aku gak punya bakat menulis, hanya punya sedikit ketertarikan pada buku bacaan. Yes, ternyata aku tertarik pada fisik bukunya, bukan isi di dalamnya, aku pun ogah ogahan menulis. Membaca jarang, menulis apalagi. Blog ini hanya berisi 2-3 tulisan setahun. Parah. Itupun isinya curhatan remeh temeh. Dan lucunya semua tentang kesedihan. Tentang diriku yang malas, tak punya prioritas dan tidak bisa fokus mengerjakan sesuatu.
Padahal sejujurnya real life yang kualami tidak seburuk itu. Bahkan sangat baik boleh dibilang. Punya suami dengan pekerjaan bagus. Punya 2 anak sehat dan cerdas. Punya orang tua dan saudara yang gak ngrepoti. Punya mertua dan ipar yang gak rese. Kurang apa coba? Kurang bersyukur doang kayaknya. Hehehe
So, mari membicarakan kebahagiaan kali ini. Sekitar pertengahan kuliah, yaa semester 5 mungkin, aku mendadak merasa hampa. Kayak gak punya interest pada apapun. Kayak merasa I’ve been through so many phases in my life. I know about any feeling, any tragedy. Gak bisa dibilang bosan hidup terus pingin mati. Bukan yang kayak gitu. Tapi kayak gak ada yang menantang lagi dalam hidup. Momen itu adalah saat kehidupanku lebih stabil dan teratur setelah sebelumnya ke sana ke mari nganterin beberapa orang sakit.
Perasaan seperti itu kemudian berlanjut. Aku seperti mempertanyakan Tuhan. “Kok aku gak reken ambek Allah?” “Did He leave me?” “I feel empty”
Apa yang terjadi kemudian adalah aku kayak gak ada greget untuk sholat. Ninggalin sholat duduk demi cangkrukan di Joglo kampus terasa biasa saja. Aku sadar sepenuhnya aku meninggalkan sholat. Bukannya lupa waktu atau lupa bahwa aku punya kewajiban sholat yang harus ditunaikan. Aku ingat. Aku sengaja meninggalkan.
Lalu hidup berjalan begitu saja. Sibuk Kuliah, jualan tas, ikut festival seni. Ketemu banyak orang. Ide tentang Allah gak ngreken itu terlupakan. Sholat masih tetap tapi yaa kadang bolong satu dua. Hingga kemudian perasaan gak bahagia itu muncul lagi ketika aku memutuskan kerja di semester 8. Seperti mencari sesuatu yang membuatku “fullfilled”
Aku merokok. Bukan gaya-gayaan. Tapi aku sudah terlalu lama menahannya. Aku punya seorang anggota keluarga yang perokok berat (tapi bukan bapakku). Sejak kecil aku melihatnya memantik api dan menghidup asap masuk ke paru parunya. Hingga suatu ketika orang ini sakit TB dan dokter minta dia stop rokok sama sekali. Dia agak linglung. Dibarengi beberapa masalah rumah tangga dan keharusan menghilangkan ketergantungannya pada rokok, dia berakhir di irna Jiwa sebagai penyandang Bipolar. Aku dan ibuku yang saat itu berperan sebagai caregiver merawat dia yang agak “diabaikan” oleh keluarganya sendiri. Aku melihatnya mencoba berbagai trik supaya bisa merokok. Meminta rokok pada petugas kebersihan rumah sakit. Pokoknya macam macam usaha dia lakukan. Akhirnya dokter mengizinkannya kembali menghisap tembakau untuk membantu kesehatan mentalnya. Sampai hari ini pun dia masih merokok. Entah berapa banyak. Kami sudah hidup terpisah.
Barangkali dari sana perasaanku muncul. Ini masih asumsi, tapi aku tidak punya pilihan lain selain menduga bahwa kejadian ini yang membuatku seperti orang yang bertahun-tahun merokok kemudian diputus begitu aja. Aku ketagihan merokok, walaupun aku belum pernah menghisapnya. Awalnya aku mengira, mungkin aku hanya penasaran karena aku melihatnya merokok sejak aku kecil hingga jadi mahasiswa. Tapi rasanya asumsi paling benar adalah aku melihatnya menderita berhenti dari rokok. Karena empatiku yang begitu dalam, seolah olah derita itu aku yang merasakan. Sakit hatinya tersalin di dadaku. Mengendap lama tanpa aku tahu harus apa.
Akhirnya aku merokok mild karena takut terlalu berat. Sembunyi-sembunyi jelas. Di toilet kantor. Jelas tidak akan ada yang curiga karena cuma aku perempuan di sana. Selebihnya bapak-bapak yang ikut training. Di taman-taman kota yang jauh dari lingkungan rumah dan kampus. Bodo amat dengan mereka yang melihat, toh aku gak kenal.
Apa yang aku dapat? Ya gak ada. Tapi aku tahu, ada kenikmatan sendiri dalam merokok. I know for sure. Sayangnya aku gak bisa melanjutkan itu. Bukan takut sakit atau gimana. tapi aku gak bisa terus terusan sembunyi seperti maling hanya untuk menghisap sebatang rokok.
Kemudian aku hidup seperti biasa. Menahan perasaan ingin merokok. Bahkan beberapa malam aku aku masih kepikiran pingin merokok. Tapi sudah tidak mungkin dilakukan apalagi di depan suami dan anak anak.
Karena sudah gak kondusif, tulisan ini kita lanjutkan lagi nanti yaa.. see ya